kata ibu, aku terlalu cantik untuk tumbuh di pemakamanku.
terilhami lagu “bertaut” gubahan nadin amizah.
https://open.spotify.com/track/630DpnzdfjdVqv2yLfPbAX?si=FDUxyzTxQGC83Kg5V7EBuQ
Lenteraku dipadamkan. Purnama mengecup pucuk-pucuk hawa yang melindap di antara gelumat dedaunan. Aku menyibak gaun tidurku, berjingkrak-jingkrak ujung satin menyapu jenjang-jenjang kayu. Ada yang menyambut tarianku, melenggang berpadanan runtut — aku terkikik, kalakian berputar di bawah bisik-bisik romantis dari pangeranku. Serenade kasak-kisik berdesir membaui aroma malam, aku, enggan menggeraikan gemilang perayaanku.
“Sudah larut malam, Kasihku. Biar aku antar kembali pada Ibumu.”
Pendar di selingkung telah redup. Ada yang mematikan kandil-kandil pekarangan rumahku. Kucing putih mengintip. Ibu telah melekang jalinan kelambu. Aku risau melangkah, ragu-ragu di sepanjang pijakan, kelesah menghayati pelupuk mata. Duniaku pasang-surut, luka-luka dirajut pada tiap-tiap jengkal tubuhku. Di ambang pintu, aku melihat Ibu membenahi tempat tidurku yang cantik ditumbuhi kembang-kembang harum. Aku mengantuk, tapi perjalananku masih panjang. Aku melangkah lagi—darah menetes dari telapak yang menginjak kaca berkeping-keping.
“Pelan-pelan, Sayangku. Ibu tidak kemana-mana.”
Tangan Ibu terulur. Menyambutku pada hangat dan damai paling menyeluruh. Aku dibaringkan, dan aku mendengar angin tumpang-tindih melalui kisi-kisi jendela. Ibu menyusuri rambutku dengan jemarinya, turun hingga bingkai romanku.
“Aku sudah tidak cantik, ya, Bu?”
Rona di wajahku sudah kembang-kempis. Dulu, ada nyiur melambai-lambai dan tawa-tawa meliuk di petangku yang lepas dan merdeka. Aku sudah tidak cantik, Ibu. Putus asa dan kalah telah berkembang biak, jelitaku rontok satu demi satu dimakan kecewa. Aku pernah serakah atas mimpi-mimpi yang kucium dari embun-embun jinak. Aku haus akan rasian monumen-monumen futur yang mesra. Aku menunjuk boneka-boneka perca dari negeri dongeng, janabijana romansa di selindung kelamkabut realita.
Aku sudah tidak cantik, Ibu. Rumah peri yang kubangun di tengah hutan ialah baka, hancur kacau-balau sama rusaknya dengan ambisiku. Aku ringkih terbentur batu-batu karang, terjalnya meruntuhkan angan-angan kecilku. Aku gemetar di pesisir tebing, kelopak mataku layu mencermati perairan keterasingan di bawah sana.
“Cantikmu adalah kekal, Sayangku. Ia terbit dan tenggelam, namun mustahil untuk padam.”
Harus berapa merana lagi yang kutanggung, Bu? Yang bermekaran adalah muram, putik-putik nestapa disesap pangkal lidahku. Harus berapa malam lagi aku mematahkan tulangku sendiri, Bu? Yang bersarang di lubuk adalah nyawa-nyawa meradang, meleburkan sisa-sisa belas kasih dan kebajikan dalam diriku. Jemariku kelu. Aku meraih-raih udara, anyir merebak di atas petaruh wasiatku.
Aku tengadah. Mataku liar mencari-cari gemintang. Wajah Ibu berpayung teduh, lamat-lamat bibirnya membuahi kidung-kidung mesra untukku. Air mataku meremang, perih membasuh hakikat yang dihela kenyataan.
“Ada Ibu di setiap sakitmu. Di setiap kasih yang kau curahi. Ada Ibu di setiap nyala nyawamu, selama detak jantung kita terus bertaut, Sayangku.”